Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat
Islam adalah mencintai keluarga dan para sahabat Nabi Muhammad. Yang
dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’ yakni Sayyidah Fathimah,
Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, dan seluruh
keturunannya (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi yang kemudian
disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan yang dimaksud dengan tetap berpedoman pada prinsip seimbang
(tawazun), tengah-tengah (tawassuth), dan tegak lurus (i’tidal), serta
tidak berlebih-lebihan.
Menanamkan fanatisme buta kepada keluarga Nabi
dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Bahkan pada
tingkat tertentu dengan tanpa disadari justru menistakan keluarga Nabi
sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura, dan penakut
(taqiyyah). Padahal Ahlul Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh
Allah dari perilaku yang kotor dan tercela tersebut (QS. Al-Ahzab: 33).
Apalagi telah maklum bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali itu
dijuluki ”laitsu Bani Ghalib” pendekar yang tak terkalahkan dalam setiap
pertempuran. Jadi, sangatlah tidak mungkin jika beliau bersikap
taqiyyah apalagi menganjurkannya.
Salah satu contoh adalah sikap kelompok yang terlalu berlebihan
kecintaannya kepada Sayyidina Ali. Dalam keyakinan mereka, ketika
Sayyidina Ali tidak terpilih menjadi khalifah pertama oleh mayoritas
sahabat, beliau marah dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak
dan menyebarkan caci maki, dan kelak di akhir zaman, orang-orang yang
dianggap merampas jabatannya akan dihidupkan kembali untuk dipukuli,
disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali beserta para putra dan
pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar sejak
lama, sebagaimana dalam i’tiqad adanya raj’ah.
Kepercayaan ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada
Sayyidina Ali. Namun dampak yang diakibatkan cukup merisaukan, karena
menggambarkan potret buram keluarga Nabi yang suci dengan gambaran
orang-orang yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan
tidak berperikemanusiaan.
Dalam keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal itu tidak mungkin
terjadi pada keluarga Nabi Muhammad. Memang sejarah telah mencatat ada
perselisihan antara sebagian keluarga dan para sahabatnya, tetapi hal
tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan dendam kesumat sepanjang
zaman. Allah sendiri telah memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam
firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح
:29.
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan
dia adalah bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi senantiasa
memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.” (QS. Al-Fath: 29).
Keyakinan ini bukan sekedar isapan jempol semata, tetapi didasarkan
pada fakta sejarah, dari berbagai literatur baik dari sumber Ahlussunnah
maupun Syi’ah yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait dan para
sahabat Nabi Muhammad ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai
karena Allah, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Di antaranya
adalah pernyataan Sayyidina Abu Bakar tentang kecintaan beliau kepada
keluarga Nabi:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ
إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).
“Dari ‘Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata, “Sungguh
kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada keluargaku
sendiri. (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 3730).
Sayyidina Umar juga merupakan salah seorang sahabat yang selalu
memperhatikan dan memuliakan keluarga Nabi. Simak hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى
مِنْبَرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ
أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah
kepada kami di atas mimbar Rasulullah , Ia berkata, “Sayyidina Ali
adalah orang yang paling ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang
yang paling fasih bacaannya.” (Shahih al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ
الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ عَلَى عَاتِقِهِ وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ
بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ (صحيح البخاري،
3278).
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika Abu Bakar
melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan
bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya. Abu Bakar kemudian
menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan
Nabi, tidak mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih
al-Bukhari, nomor hadits. 3278).
Senda gurau tersebut tidak mungkin terjadi jika di antara keduanya
ada permusuhan. Rasa hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat
Nabi Muhammad itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana
tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali:
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لأَبِي أَيُّ
النَّاسِ خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ
ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولَ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ
أَنْتَ يَا أَبَةِ قَالَ مَا أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ
(سنن ابي داود، 4013).
”Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya kepada
ayahku (Ali bin Abi Thalib), ”Siapakah manusia paling mulia setelah
Rasulullah?”, Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Abu Bakar”. Aku
bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina
Umar bin Khattab .”. Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi,
”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin
Affan.” Lalu aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.” Sayyidina Ali
menjawab (seraya merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya seorang laki-laki
biasa seperti muslim lainnya.”(Sunan Abi Dawud, nomor hadits. 4013).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ
عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى قَامَ بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ
فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ
مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَلْقَاهُ
بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).
“Dari Ibn Umar ia berkata, “Ketika jenazah Sayyidina Umar diletakkan
di antara minbar dan makam Rasulullah, Sayyidina Ali datang dan berdiri
di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya, inilah orangnya,
inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu.
Tidak seorangpun hamba Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu
Allah (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku catatan
Nabi, selain dari yang terbentang di tengah-tengah kalian ini (yakni
jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).
Ada beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali ini.
Pertama, penghormatan Sayyidina Ali yang begitu tinggi kepada para
sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau. Tidak ada rasa dendam
atau merasa tersaingi dan didholimi. Kedua, kerendahan hati sayyidina
Ali. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada perasaan lebih
mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki
biasa seperti muslim lainnya”. Ketiga, tidak mungkin beliau melakukan
taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu, sebab pujian Sayyidina Ali
diungkapkan pada saat orang yang disanjung itu telah meninggal dunia
(hadits riwayat Ahmad), bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah
seperti dalam hadits riwayat Abu Daud di atas. Data seperti tersebut di
atas tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab Ahlussunnah tetapi dapat
ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam kitab Talkhis
Asy-Syafi (Juz. II, Hal. 48), Asy-Syafi (hal. 428), dan lain-lain.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ جَمِيْعِ بْنِ عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي
عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ: أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ
الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً
قَوَّا ماً (رواه الترمذي).
“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu saat aku bersama bibiku
menemui ‘Aisyah dan aku bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang
paling dicintai oleh Rasulullah, Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah
Fatimah: ditanyakan lagi kepada beliau, kalau dari kalangan laki-laki?
Jawab Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali) karena aku tahu
dia itu rajin berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh tanggung jawab.”
(HR. Tirmidzi, nomor hadits 3873).
Mungkinkah Sayyidah ‘Aisyah menyampaikan hadits tersebut jika di lubuk
hatinya ada dendam dan iri hati? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, karena
hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali dan Sayyidah
Fatimah.
Tidak hanya sampai di sini, kecintaan dan persaudaraan itu
berlangsung terus hingga anak keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang
mendalam di antara para sahabat dengan keluarga Nabi Muhammad tidak
cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata
seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar
itu. Misalnya Sayyidina Ali di antara 33 putra putri beliau ada yang
diberi nama dengan Abu Bakar, Umar dan Utsman (Imam Ali bin Abi Thalib,
hal. 9). Sayyidina Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14
putra-putrinya. Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar
diantara 9 putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali
baitin Nabi). Imam Ali Zainal Abidin menunjukkan kecintaannya kepada
para sahabat Nabi juga dengan memberi nama salah seorang putranya dengan
nama Umar. Begitu pula Imam Musa al-Kadzim memberi nama salah satu
putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam
Ali al-Ridla memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah
(Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan Imam Ali al-Hadi juga memberi
nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah. (Al-Fushuulul
Muhimmah, hal. 238).
Siapapun tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya,
tentu memilih nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah
harapan semoga anak yang dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas
individu sebagaimana orang yang ditiru namanya. Sudah pasti hal itu
tidak akan terjadi bilamana di hati mereka ada permusuhan dan dendam
kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah melindungi Ahlul Bait Nabi
Muhammad dari berbagai penyakit hati.
Isteri Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari
Yazdajird, raja terakhir dari kerajaan Persia. Semula beliau adalah
tawanan perang bersama dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah.
Kemudian beliau dihadapkan kepada Sayyidina Umar bin al-Khaththab. Semua
orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh Sayyidina Umar bin
al-Khaththab sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra
beliau sendiri, Abdullah bin Umar. Akan tetapi di luar dugaan justru
Sayyidina Umar menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina
Husain sembari berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina Husain)! Pernikahan
engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di
atas bumi.”
Maka kemudian puteri Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina
Husain, dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Ali bin Husain
yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467).
Riwayat tersebut di atas tampak jelas bahwa Sayyidina Umar sangat
menghormati dan mencintai Sayyidina Husain baik dengan ucapan maupun
tindakan.
Bahkan lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan keluarga Nabi
Muhammad tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada putra-putranya
saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan.
Misalnya Sayyidina Umar menikah dengan Ummi Kultsum putri Sayyidina Ali.
(Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin Utsman bin Affan. menikah
dengan Sukainah binti al-Husain bin Ali bin Abi Thalib Abdullah bin Amr
bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah binti al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj (Nasabu
Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) (Perlu diketahui pula
bahwa Sayyidina Utsman adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali dari
jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti Abdul Muththalib.
(Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi, juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di
tubuh Sayyidina Utsman juga mengalir darah Bani Hasyim.
Imam Muhammad al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far al-Shadiq menikah
dengan cucu Sayyidina Abu Bakar, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin
Muhammad bin Abu Bakar Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti
Abdurrahman bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah
(Al-Kafi, juz. I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far
al-Shadiq menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali (yakni dari jalur kakek dan
nenek dari ibunya).” (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far al-Shadiq yang mulia
mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari akhlaqul
karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far
al-Shadiq kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي حَفْصَه, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ عَلِيٍّ شَيْئًا,
إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ
الاَلْمَاسِ, ص 97).
“Wahai Salim adakah seorang cucu akan memaki kakeknya sendiri? Abu
Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan syafaat dari Ali tentu aku
mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar. ” (Uqud Al-Almas, hal.
97).
Last but not least, Sayyidina Ali menikah dengan Asma’ binti Umais
(janda Sayyidina Abu Bakar) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’
binti Umais tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah
selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma’ binti Umais tersebut pada
waktu itu masih menjadi istrinya Abu Bakar (Al-Amali, juz. I, hal.
107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais adalah orang yang
turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah (Kasyful Ghummah, juz. I,
hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah berwasiat agar
Asma’ binti Umais turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah
Fathimah, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun,
hal. 235 dan 242). Hal itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu
Bakar sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak
mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma’ bukan wanita yang
shalehah, tentu sayyidina Ali tidak bakal menikahinya.
Fakta-fakta tersebut di atas menambah keyakinan Ahlussunnah Wal
Jama’ah bahwa Sayyidina Ali tidak ada masalah dengan Sayyidina Abu
Bakar, bahkan Sayyidina Ali sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu
Bakar sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibn
Hibban (Irsyad As-Sari, juz. VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil,
juz. II, hal. 220). Dengan demikian antara Sayyidina Ali dan Sayyidina
Abu Bakar pada hakikatnya di antara keduanya terjalin tautan kasih dan
tambatan sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah
goyah oleh deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan
sayyidina Umar, sayyidina Utsman dan para sahabat lainnya. Ini adalah
bukti kesuksesan Nabi Muhammad dalam membimbing keluarga dan para
sahabatnya.
Sejatinya, kalau dipikirkan dengan sederhana semua umat Islam
mengetahui bahwa Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Umar adalah mertua
dari Rasulullah. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah
binti Umar dinikahi Rasulullah. Sementara Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah
Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman secara berurutan. Sedangkan
Sayyidah Fatimah adalah isteri Sayyidina Ali. Nabi tentu tidak salah
dalam memilih mertua dan menantu karena beliau terjaga dari berbuat
kesalahan (ma’shum).
Jika kita benar-benar mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad,
tentu kita wajib mencontoh sikap santun dan kerendahan hati mereka.
Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad, yang bersih hati dan lidahnya,
mereka jauh dari hal-hal yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci
maki, apalagi hasut dan dengki. Semua itu jauh dari mereka, sejauh
panggang dari api. Walaupun di sisi lain tanpa harus menumbuhkan
fanatisme buta yang berujung pada kultus yang dilarang agama. Begitu
pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi
terbaik Islam itu harus dijauhkan dari dalam dada kita.
Inilah cerminan sikap tawassuth, tawazun dan i’tidal golongan Aswaja
kepada keluarga dan sahabat Nabi. Dan dengan cara inilah kita mencintai
ahlul bait dan sahabat Nabi secara proporsional.
(Disampaikan Rais Syuriah PCNU Jember, K.H. Muhyiddin Abdusshomad
dalam DAKWAH (Daurah Kader Ahlussunnah Wal Jama’ah) “Mengukuhkan Aqidah
Aswaja di Lingkungan Nahdliyyin” PWNU Jawa Timur di Surabaya, Tgl.
18-20 Desember 2010 di Islamic Centre, Jln. Dukuh Kupang, no. 22
Surabaya)
Pages
Senin, 21 Mei 2012
Mencintai Ahlulbait dan Sahabat Nabi Secara Proporsional
Published :
10.19
Author :
Zulhimawan Muhammad's Blog
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mengenai Saya
- Zulhimawan Muhammad's Blog
- Aku terlahir dari keluarga yg tidak terlalu terpandang secara materi tetapi kokoh dalam hal aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdhiyah dg nama lengkap Muhammad Jazuli Manan. Aku berobsesi untuk menjadikan keluarga dan lingkunganku berubah dari pola pikir "KULTUS BUTA" tp tetap pada aqidah Islam Ahlussunnah Wal Jamaah Annahdhiyah.
Popular Themes
Labels
Resources
Do'a, Bacaan Al Qur'an, Shodaqoh dan Tahlil Untuk Orang Mati
Membaca Sholawat Untuk Nabi
Beranda Muhasabah
Cara membuat breadcrumbs navigasi
harga jual blackberry iphone laptop murah
Cara membuat textarea pada blog
Macam-macam kode HTML
Cara menulis kode HTML pada postingan blog
Cara menghilangkan gambar obeng pada blog
javahostindo web hosting indonesia
Membaca Sholawat Untuk Nabi
Beranda Muhasabah
Cara membuat breadcrumbs navigasi
harga jual blackberry iphone laptop murah
Cara membuat textarea pada blog
Macam-macam kode HTML
Cara menulis kode HTML pada postingan blog
Cara menghilangkan gambar obeng pada blog
javahostindo web hosting indonesia
0 komentar:
Posting Komentar